13 November 2009

AKUISISI & PROSES LEGAL DUE-DILIGENCE DALAM AKUISISI PERSEROAN TERBATAS

A. DEFINISI AKUISISI ATAU PENGAMBILALIHAN
Menurut Prof. Felix Oentoeng Soebagjo, akuisisi perusahaan itu pada dasarnya berbeda dengan merger dan juga berbeda dengan dengan konsolidasi (peleburan). Jika yang dilakukan adalah akuisisi perusahaan, maka baik pihak yang melakukan akuisisi maupun pihak yang diakuisisi tetap eksis. Pihak yang melakukan akuisisi tersebut akan menjadi pengendali dari pihak yang akan di akuisisi. Perbedaannya dengan merger adalah bahwa pada suatu merger yang dilakukan secara penuh dan tuntas, akan menjadikan salah satu diantara pihak-pihak yang akan melakukan merger menjadi surviving company, sedangkan pihak-pihak lainnya merupakan disappearing company. Di lain pihak, jika para pihak memilih melakukan konsolidasi, maka yang akan menjadi surviving company adalah perusahaan yang baru yang didirikan oleh para pihak sedangkan perusahaan yang menjadi peserta peleburan menjadi pendiri dari perusahaan disappearing company.
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT), diatur mengenai definisi pengambilalihan adalah sebagai berikut :
"Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Badan Hukum atau orang perseorangan untuk mengambilalih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut".
Berdasarkan definisi pengambilalihan sebagaimana yang dimaksud diatas, maka dapat ditarik beberapa unsur yang melekat dalam pengambilalihan antara lain, yaitu :
  1. Pengambilalihan adalah suatu perbuatan hukum;
  2. Pihak yang mengambilalih adalah orang atau Badan Hukum;
  3. Metode pengambilalihan dengan cara melakukan pengambilalihan saham; dan
  4. Pengambilalihan saham itu dapat mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan Terbatas tersebut.
  5. Menurut Prof. Felix Oentoeng Subagjo, pengambilalihan saham yang diambilalih tersebut harus bersifat signifikan dimana pengambilalihan saham tersebut memungkinkan orang atau badan hukum yang mengambilalih itu dapat mengendalikan Perseroan yang diambilalih, dan jika saham yang diambilalih tersebut tidak signifikan atau yang bersangkutan hanya menjadi pemegang saham mayoritas di Perseroan yang bersangkutan, maka pengambilalihan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai pengambilalihan atau akuisisi.

B. KLASIFIKASI PENGAMBILALIHAN PERSEROAN

Pengambilalihan saham atas perseroan dapat dipandang melalui 3 (tiga) sisi, yakni menurut jenis usaha perseroan yang dikaitkan dengan pemasaran, menurut subjek yang melakukan pengambilalihan, dan dilihat dari segi objek transaksi pengambilalihan.
Berdasarkan jenis usaha perseroan atau yang dikaitkan dengan pemasaran, pengambilalihan dapat dibedakan menjadi :
  1. Pengambilalihan Horizontal yakni pengambilalihan yang bertujuan untuk mengambilalih Perseroan pesaing secara langsung yang mempunyai produk barang atau jasa yang sama ataupun memiliki wilayarah pemasaran yang sama. Contohnya adalah pengambilalihan saham PT H.M. SAMPOERNA, Tbk yang diambilalih oleh PHILIP MORRIS, Ltd.
  2. Pengambilalihan Vertikal adalah pengambilalihan yang bertujuan untuk menguasai sejumlah mata rantai produksi dan distribusi dari hulu sampai hilir. Misalnya, PT X adalah Perseroan yang memproduksi mie instant mengambil alih PT Y yang merupakan produsen tepung terigu dimana industri tepung terigu merupakan hulu dari industri mie instant.
  3. Pengambilalihan Konglomerat adalah pengambilalihan yang ditujukan untuk mengambilalih Perseroan lain yang tidak memiliki kaitan bisnis secara langsung dengan Perseoran yang diambilalih.
Apabila dilihat dari sisi subjek yang melakukan pengambilalihan, maka dapat dibedakan atas :
  1. Pengambilalihan Eksternal yakni merupakan pengambilalihan yang terjadi dalam dua Perseroan atau lebih dan tidak berada dalam 1 (satu) holding company. Contohnya adalah pengambilalihan PT H.M. SAMPOERNA, Tbk yang diambilalih oleh PHILP MORRIS, Ltd.
  2. Pengambilalihan Internal adalah pengambilalihan dimana baik Perseroan yang diambilalih maupun Perseroan yang akan diambilalih berada dalam 1 (satu) holding company. Contohnya, pengambilalihan yang pernah dilakukan oleh BAKRI & BROTHERS terhadap PT INDOCOPPER INVESTAMA CORPORATION, dimana PT INDOCOPPER INVESTAMA CORPORATION merupakan anak perusahaan dari PT BAKRI & BROTHERS.

Apabila dilihat dari segi objek transaksi pengambilalihan, pengambilalihan atau akuisisi dapat dibedakan sebagai berikut :

  1. Akusisi Saham, dimana pihak yang mengambilalih atau mengakuisisi perusahaan yang diambilalih secara signifikan yang memungkinkan pihak yang mengambilalih mampu memegang kendali atas management perusahaan target. Untuk itu, dalam rangka melakukan akusisi saham tersebut, seseorang atau badan hukum harus menjadi pemegang saham mayoritas dalam suatu Perseroan.
  2. Akusisi Asset, dimana yang diambilalih adalah aset perseroan target dengan atau tanpa ikut mengambilalih seluruh kewajiban Perseroan target terhadap pihak ketiga. Sebagai kontraprestasi dari akuisisi ini, pihak yang mengakuisisi memberikan suatu harga yang pantas dengan cara yang sama seperti akuisisi saham.
  3. Akuisisi Kombinasi, dimana pengambilalihan merupakan kombinasi antara akuisisi saham dan akuisisi asset. Misalnya dilakukan akuisisi sebesar 50% (lima puluh persen) asset perusahaan target. Demikian juga dengan kontraprestasinya, dapat saja dibayar sebagian dengan tunai dan sebagian lagi dengan saham perusahaan pengambilalih.
  4. Akusisi Bertahap, dimana akuisisi tersebut tidak dilaksanakan sekaligus. Misalnya, Perseroan target memberikan convertible bonds (obligasi yang dapat dikonversi menjadi saham), sementara Perseroan pengambilalih menjadi pembelinya. Dalam hal ini, pada tahap pertama, pihak yang mengambilalih memberikan dana ke Perseroan target melalui pembelian bonds (obligasi). Pada tahap selanjutnya, obligasi tersebut dengan ditukar saham, jika kinerja Perseroan yang akan diambilalih membaik.
  5. Akusisi Kegiatan Usaha, dimana kegiatan usaha yang diambilalih hanya kegiatan usaha termasuk jaringan bisnis, alat produksi, hak kekayaan intelektual dan lain sebagainya.

Dari klasifikasi mengenai objek transaksi pengambilalihan diatas, UUPT hanya mengakui transaksi pengambilalihan saham sebagai satu-satunya mekanisme pengambilalihan saham.

C. TAHAPAN PENGAMBILALIHAN

Pengambilalihan saham harus dilakukan dengan cara melakukan pengambilalihan saham secara signifikan atas saham yang telah dikeluarkan dan/atau yang akan dikeluarkan oleh Perseroan melalui Direksi Perseroan atau dari Pemegang Saham secara langsung.

Dalam hal pengambilalihan saham dilakukan oleh Badan Hukum, maka Direksi sebelum melakukan perbuatan pengambilalihan saham tersebut harus didasarkan pada Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham yang memenuhi persyaratan pengambilan keputusan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 89 UUPT, dimana RUPS tersebut harus dihadiri oleh 3/4 (tiga seperempat) bagian dari jumlah keseluruhan saham dengan hak suara hadir/diwakili dalam RUPS. RUPS ini baru akan sah apabila rencana akuisisi tersebut disetujui paling sedikit oleh 3/4 (tiga seperempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali jika anggaran dasar mengatur kuorum yang lebih besar. Apabila kuorum kehadiran dalam RUPS pertama tidak tercapai, maka dapat diadakan RUPS kedua, dimana RUPS kedua tersebut baru dinyatakan sah apabila dalam RUPS tersebut dihadiri paling sedikit oleh 2/3 (dua sepertiga)bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir/diwakili dalam RUPS. Keputusan RUPS baru dikatakan sah apabila keputusan atas rencana akuisisi tersebut disetujui oleh 3/4 (tiga seperempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali jika anggaran dasar PT mengatur kuorum yang lebih besar. Ketentuan penyelenggaraan kuorum RUPS tersebut juga berlaku bagi Perseroan Terbuka sepanjang tidak diatur lain di dalam Peraturan Perundang-Undangan dalam bidang Pasar Modal.

Dalam hal pengambilalihan dilakukan oleh Direksi, pihak yang mengambilalih harus menyampaikan maksudnya untuk melakukan pengambilalihan tersebut kepada Direksi Perseroan yang diambilalih, dimana pihak yang akan mengambilalih tersebut adalah perseroan atau badan hukum lain yang bukan perseroan atau perseorangan. Dalam hal pengambilalihan dilakukan oleh Direksi, maka pihak yang akan mengambilalih dan perseroan yang akan diambilalih dengan persetujuan komisaris masing-masing Perseroan menyusun rancangan pengambilalihan yang memuat sekurang-kurangnya hal-hal sebagai berikut :

  1. Nama dan tempat kedudukan dari Perseroan yang akan diambilalih dan perseroan yang akan mengambilalih.
  2. Alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan mengambilalih dan Direksi Perseroan yang akan diambilalih.
  3. Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) UUPT untuk tahun buku terakhir dari Perseroan yang akan mengambilalih dan Perseroan yang akan diambilalih.
  4. Tata cara penilaian dan konversi saham dari perseroan yang akan diambilalih terhadap saham penukarnya apabila pembayaran pengambilalihan dengan saham.
  5. Jumlah saham yang akan diambilalih.
  6. Kesiapan pendanaan.
  7. Neraca konsolidasi performa Perseroan yang akan mengambilalih setelah pengambilalihan yang disusun sesuai dengan prinsip akuntasi yang berlaku umum di Indonesia.
  8. Cara penyelesaian hak Pemegang Saham yang tidak setuju terhadap pengambilalihan
  9. Cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Komisaris dan Karyawan Perseoran yang diambilalih.
  10. Perkiraan jangka waktu pelaksanaan pengambilalihan, termasuk jangka waktu pemberian kuasa pengalihan saham dari Pemegang Saham kepada Direksi Perseroan.
  11. Rancangan perubahan Anggaran Dasar Perseroan hasil pengambilalihan jika ada.

Apabila pengambilalihan saham tersebut dilakukan langsung dari Pemegang Saham maka ketentuan Pasal 125 ayat (5) dan (6) UUPT diatas, tidak berlaku. Dengan demikian, pengambilalihan saham perseroan lain secara langsung dari Pemegang Saham tidak perlu didahului dengan membuat rencangan pengambilalihan. Kedua belah pihak langsung melakukan perundingan dan kesepakatan oleh pihak yang akan mengambilalih dengan Pemegang Saham. Walaupun demikian, Pengambilalihan Saham secara langsung ini tetap wajib memperhatikan Anggaran Dasar Perseroan yang diambilalih tentang pemindahan hak atas saham dan perjanjian yang telah dibuat oleh Perseroan dengan pihak lain.

D. HAK-HAK PEMEGANG SAHAM MINORITAS DALAM PENGAMBILALIHAN

Apabila ada Pemegang Saham yang tidak setuju dengan adanya pengambilalihan Perseroan, padahal RUPS dengan suara mayoritas tertentu telah memutuskan untuk melakukan pengambilalihan, maka pemegang saham tersebut oleh hukum diberikan suatu hak khusus yang disebut dengan Appraisal Right.
Appraisal Right adalah Suatu hak yang dimiliki oleh Pemegang Saham yang tidak setuju terhadap pengambilalihan tetapi mereka kalah suara dalam forum RUPS atau tindakan corporate lainnya untuk menjual saham yang dipegangnya kepada Perseroan yang bersangkutan, sedangkan Perseroan yang menerbitkan saham tersebut wajib membeli kembali saham Perseroan yang diterbitkan tersebut dengan harga yang wajar.
Pasal 126 ayat (1) UUPT menentukan bahwa perbuatan hukum pengambilalihan tersebut wajib memperhatikan kepentingan :
  1. Perseroan, Pemegang Saham Minoritas, Karyawan Perseroan;
  2. Kreditor dan mitra usaha lainnya dari Perseroan;
  3. Masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha.
Menurut ketentuan Pasal 125 ayat (3) UUPT dijelaskan bahwa walaupun pemegang saham minoritas tersebut memiliki hak appraisal, namun pelaksanaan tersebut tidak menghentikan proses pelaksanaan pengambilalihan, dimana pemegang saham tersebut hanya memiliki hak untuk menuntut agar Perseroan membeli saham yang mereka miliki sesuai dengan harga yang wajar sebagaimana yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 123 ayat (2) huruf c jo. Pasal 125 ayat (6) huruf d UUPT.
E. LEGAL DUE-DILIGENCE OF ACQUISITION

Legal Due-Diligence diperlukan dan dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan data objektif berkaitan dengan suatu rencana transaksi. Menurut Prof. Felix Oentoeng Soebagjo, dalam transaksi terkait dengan pengambilalihan saham, aspek Legal Due-Diligence yang dilakukan dengan menganalisa aspek-aspek berikut :

  1. Hambatan dan batasan yang ada atau yang mungkin timbul terhadap rencana pengambilalihan saham dilihat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, anggaran dasar, perijinan, perjanjian dan perkara yang dihadapi.
  2. Akibat hukum dari pengambilalihan saham terhadap pihak-pihak yang bertransaksi.
  3. Struktur permodalan dan Pemegang Saham sebelum dan sesudah pengambilalihan saham dari perusahaan yang diambilalih yang menunjukan siapa yang menjadi pihak pengendali.
  4. Aktiva dan Passiva dari perusahaan yang diambilalih (apabila ada).
  5. Tindakan korporasi dan persetujuan-persetujuan yang diperlukan untuk melaksanakan transaksi pengambilalihan saham.
  6. Keabsahan pemilikan saham oleh penjual dan pembebanan atas saham (bila ada); dan
  7. Syarat dan ketentuan penting dalam perjanjian pengambilalihan saham.

10 November 2009

PENGANGKATAN ANAK MENURUT HUKUM DI INDONESIA

A. DEFINISI HUKUM
Definisi Pengangkatan Anak menurut Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 adalah sebagai berikut :
"Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan, seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat".
Dari definisi diatas, dapat kita ketahui pengangkatan anak haruslah mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
  1. Merupakan suatu perbuatan hukum;
  2. Dimana perbuatan tersebut harus mengalihkan seorang anak;
  3. Mengalihkan anak tersebut dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut;
  4. Anak tersebut harus tinggal ke dalam keluarga orang tua angkat.

Definisi Orang Tua Angkat, menurut Pasal 1 butir 4 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007, adalah sebagai berikut :

"Orang tua angkat adalah orang yang diberi kekuasaan untuk merawat, mendidik, dan membesarkan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan dan adat kebiasaan".

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa orang tua angkat memiliki suatu kekuasaan orang tua angkat terhadap anak angkatnya yang meliputi :

  1. Kekuasaan untuk merawat anak asuh;
  2. Kekuasaan untuk mendidik anak asuh;
  3. Kekuasaan untuk membesarkan anak asuh.
Definisi Anak Angkat, menurut Pasal 1 butir 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Pasal 1 butir 1 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 mengatakan bahwa yang dimaksud dengan : "Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan".

B. JENIS PENGANGKATAN ANAK

Jenis pengangkatan anak terdiri atas 2 (dua) macam, yakni :

  1. Pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia; dan
  2. Pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing.

C. SYARAT PENGANGKATAN ANAK

.::Syarat Pengangkatan Anak antar Warga Negara Indonesia::. Syarat Bagi Calon Anak Angkat
  1. Belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
  2. Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
  3. Berada dalam asuhan keluarga atau dalam Lembaga Pengasuhan Anak; dan
  4. Memerlukan perlindungan khusus
Syarat Bagi Calon Orang Tua Angkat
  1. Sehat jasmani dan rohani;
  2. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling linggi 55 (lima puluh lima) tahun;
  3. Beragama sama dengan agama calon anak angkat;
  4. Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;
  5. Berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;
  6. Tidak merupakan pasangan sejenis;
  7. Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;
  8. Dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;
  9. Memperoleh persetujuan anak dan ijin tertulis orang tua atau wali anak;
  10. Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;
  11. Adanya laporan sosial atau pekerja sosial setempat;
  12. Tidak mengasuh calon anak selama 6 (enam) bulan sejak ijin pengasuhan diberikan;
  13. Memperoleh ijin Menteri dan/atau Kepala Instansi Sosial.

.:: Syarat Pengangkatan Anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing::.

Apabila Anak Warga Negara Indonesia dan Orang Tua Warga Negara Asing

  1. Memperoleh ijin tertulis dari Pemerintah Warga Negara asal Pemohon melalui kedutaan atau Perwakilan Negara Pemohon melalui Kedutaan atau Perwakilan Negara Pemohon yang ada di Indonesia;
  2. Memperoleh Ijin dari Menteri;
  3. Melalui lembaga pengasuhan anak;
  4. Orang tua asing tersebut telah bertempat tinggal di Indonesia secara sah selama 2 (dua) tahun;
  5. Mendapat persetujuan tertulis dari Pemerintah Negara Pemohon;
  6. Membuat pernyataan tertulis bahwa akan melaporkan perkembangan anak kepada Departemen Luar Negeri Republik Indonesia melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat;
  7. Memenuhi syarat-syarat seperti yang termuat dalam Persyaratan Pengangkatan Anak antar Warga Negara Indonesia.

Apabila Anak Warga Negara Asing dan Orang Tua Warga Negara Indonesia

  1. Memperoleh persetujuan tertulis dari Pemerintah Republik Indonesia; dan
  2. Memperoleh persetujuan tertulis dari Pemerintah Negara Asal Anak.

D. TATA CARA PENGANGKATAN ANAK

.::Tata Cara Pengangkatan Anak antar Warga Negara Indonesia::.

  1. Melengkapi syarat-syarat pengangkatan anak;

  2. Mengajukan pengajuan Permohonan Penetapaan Pengangkatan Anak ke Pengadilan Agama (bagi yang beragama Islam) atau ke Pengadilan Negeri (bagi yang beragama Non-Islam);

  3. Setelah Majelis Hakim mempelajari berkas tersebut, Majelis akan mengeluarkan Penetapan;

  4. Kemudian Pengadilan akan meneruskan Salinan Penetapan tersebut kepada Instansi terkait seperti Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Departemen Sosial, Departemen Luar Negeri, Departemen Kesehatan, Kejaksaan dan Kepolisian.

.:Tata Cara Pengangkatan Anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing:.

  1. Melengkapi syarat-syarat pengangkatan anak;
  2. Mengajukan pengajuan Permohonan Putusan Pengangkatan Anak ke Pengadilan Agama (bagi yang beragama Islam) atau ke Pengadilan Negeri (bagi yang beragama Non Islam);
  3. Setelah Majelis Hakim mempelajari berkas tersebut, Majelis akan mengeluarkan Putusan;
  4. Kemudian Pengadilan akan meneruskan Salinan Putusan tersebut kepada Instansi terkait seperti Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Departemen Sosial, Departemen Luar Negeri, Departemen Kesehatan, Kejaksaan dan Kepolisian.